Pemerintah Indonesia mengalokasikan 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk sektor pendidikan setiap tahunnya. Angka ini secara nominal mencapai sekitar Rp700 triliun. Namun, di balik angka fantastis itu, muncul berbagai persoalan serius terkait distribusi, efektivitas, dan integritas penggunaan anggaran.
Anggaran Besar, Manfaat Tak Terasa
Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), mengungkapkan bahwa realitas pengelolaan anggaran pendidikan masih jauh dari harapan. Dalam sebuah program Gak Pake Ordal di YouTube yang tayang pada 29 Juli 2025, ia menyoroti bahwa dana pendidikan seringkali tidak sampai ke tujuan yang tepat, bahkan rawan disalahgunakan.
“Sayangnya, pendidikan masih termasuk dalam lima besar sektor dengan tingkat korupsi tertinggi di Indonesia,” ungkap Ubaid. Hal ini diperparah dengan berbagai kasus korupsi anggaran pendidikan yang mencuat ke publik, mulai dari pengadaan laptop Chromebook hingga penyalahgunaan layanan Google Cloud.
Ketimpangan Alokasi dan Peran Kemendikdasmen
Ubaid juga menyoroti distribusi anggaran yang timpang. Dari total Rp700 triliun, Kementerian Pendidikan, khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), hanya mengelola sekitar 3 persen. Sementara sebagian besar dana lainnya tersebar di kementerian/lembaga lain, pemerintah daerah, serta pos-pos non-pendidikan secara langsung.
“Kalau hanya 3 persen yang dikendalikan Kemendikdasmen, jangan heran jika kualitas pendidikan dasar dan menengah tidak kunjung membaik,” tegasnya.
Menurut Ubaid, hal ini menciptakan ketidakefisienan dalam pengelolaan dana, di mana aktor utama dalam sistem pendidikan justru memiliki ruang gerak yang sangat terbatas. Ia menilai bahwa seharusnya Kemendikdasmen diberi peran lebih besar untuk memastikan anggaran benar-benar digunakan untuk kebutuhan nyata di lapangan—bukan sekadar memenuhi kewajiban administratif.
Peran Presiden Dalam Reformasi Anggaran
Lebih lanjut, Ubaid juga menekankan pentingnya kepemimpinan nasional dalam memastikan penggunaan anggaran pendidikan berjalan secara adil dan efektif. Ia menyebut Presiden Prabowo Subianto sebagai tokoh kunci yang harus turun tangan untuk melakukan reformasi sistemik dalam tata kelola anggaran pendidikan.
“Kalau tidak ada perubahan struktural, pendidikan dasar akan terus menjadi beban mahal bagi masyarakat,” ujarnya.
Membangun Sistem Pendidikan yang Transparan dan Akuntabel
Masalah utama dalam pengelolaan anggaran pendidikan bukan hanya soal besarnya dana, tetapi juga bagaimana dana tersebut didistribusikan, diawasi, dan dimanfaatkan. Tanpa transparansi dan akuntabilitas, pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar rakyat justru berubah menjadi ladang kepentingan.
Korupsi di sektor pendidikan bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap masa depan generasi bangsa. Oleh karena itu, perbaikan sistem pengawasan, pelibatan masyarakat, dan reformasi kelembagaan menjadi langkah mendesak yang tidak bisa ditunda lagi.
Penutup
Anggaran pendidikan Indonesia memang besar, namun dampaknya masih belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat. Jika negara ingin benar-benar mewujudkan pendidikan yang berkualitas, terjangkau, dan merata, maka pembenahan tata kelola anggaran adalah langkah fundamental. Tanpa itu, visi Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi slogan kosong yang tidak menyentuh akar persoalan.
Tinggalkan Balasan